Kegagalan Dunia Internasional Menghentikan Eskalasi Iran–Israel: PBB Terbelah, Timur Tengah di Ambang Krisis Baru

1

New York, 26 Juni 2025 — Dunia kembali menyaksikan betapa rapuhnya sistem keamanan global ketika Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) gagal mencapai konsensus untuk merespons cepat eskalasi bersenjata antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat. Ketika rudal-rudal melintas di atas langit Timur Tengah, ruang sidang PBB justru dipenuhi silang pendapat, perdebatan politis, dan veto yang membekukan upaya perdamaian.

Konflik terbaru ini, yang dimulai dari serangan Israel ke fasilitas nuklir Iran pada 13 Juni 2025 dan memuncak dengan serangan rudal Iran ke pangkalan AS di Qatar pada 23 Juni, menunjukkan betapa komunitas internasional nyaris tak mampu meredam atau mengintervensi krisis yang berpotensi memicu perang regional skala besar.

Dewan Keamanan Tak Berdaya

Pada 24 Juni 2025, hanya sehari setelah serangan Iran ke Al-Udeid, Qatar, Dewan Keamanan PBB menggelar sidang darurat. Agenda utama adalah mendorong resolusi gencatan senjata dan pengiriman tim investigasi internasional ke kawasan konflik. Namun, seperti telah berulang kali terjadi dalam konflik Timur Tengah, perbedaan pandangan negara-negara besar kembali menjadi penghalang.

Amerika Serikat dan Inggris mendorong resolusi yang secara eksplisit menyalahkan Iran atas eskalasi konflik, termasuk penggunaan rudal balistik lintas negara. Sebaliknya, Rusia dan China menolak resolusi tersebut karena dinilai tidak imparsial, dan mengusulkan agar PBB justru mengecam agresi awal Israel yang memicu reaksi Iran.

Ketika pemungutan suara dilakukan, Rusia menggunakan hak vetonya, diikuti oleh China. Resolusi pun gagal. Tak ada pernyataan bersama, tak ada tim investigasi, dan tak ada langkah konkret yang bisa menghentikan pertempuran. Dunia hanya bisa menonton, tanpa kekuatan untuk mencegah darah yang tertumpah.

Diplomasi yang Kehilangan Daya Gertak

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres dalam pernyataan persnya pada 25 Juni menyatakan “keprihatinan mendalam” atas ketegangan yang terus meningkat dan mendesak semua pihak untuk menahan diri. Namun pernyataan itu terasa hampa di tengah kabar serangan balasan baru oleh Israel ke wilayah Iran hanya beberapa jam setelah pengumuman gencatan senjata sepihak oleh Donald Trump.

PBB, sebagai lembaga internasional, memang dibentuk untuk mencegah pecahnya perang besar pasca-Perang Dunia II. Namun dalam kasus Iran dan Israel kali ini, tampaknya PBB hanya menjadi penonton pasif dari skenario perang modern yang dimainkan kekuatan besar dengan agenda politik masing-masing.

Analis geopolitik Timur Tengah, Dr. Zahra Ghani dari Universitas Leiden, menyebut situasi ini sebagai “simbol kehancuran multilateralisme.” Ia mengatakan, “PBB tidak punya gigi ketika negara-negara anggota tetap mementingkan posisi politik ketimbang komitmen moral untuk menjaga perdamaian dunia.”

Seruan dari Negara-Negara Non-Blok

Ketika negara-negara besar justru terlibat dalam pertikaian politik di Dewan Keamanan, sejumlah negara dari blok Non-Blok dan G77 menyerukan pembentukan “mekanisme perdamaian alternatif.” Indonesia, Turki, Brasil, dan Afrika Selatan adalah beberapa negara yang mengusulkan pertemuan darurat Majelis Umum PBB — yang meski tidak mengikat, namun bisa menjadi tekanan moral bagi pihak-pihak yang berkonflik.

Presiden Indonesia, dalam pidatonya di Jakarta, menegaskan bahwa “dunia tidak bisa tinggal diam melihat konflik dua negara menjalar ke wilayah-wilayah yang lebih luas.” Ia menyerukan agar semua negara menghentikan pengiriman senjata ke Timur Tengah dan menolak keterlibatan militer asing lebih lanjut.

Namun, apakah suara dari negara-negara Non-Blok cukup untuk meredakan konflik? Sejauh ini belum terlihat tanda-tanda bahwa upaya itu akan diindahkan oleh pihak-pihak yang sedang terlibat langsung di medan perang.

Korban Sipil dan Krisis Kemanusiaan Mengintai

Sementara dunia berdebat, korban terus berjatuhan. Menurut laporan organisasi kemanusiaan internasional, sedikitnya 300 warga sipil Iran tewas sejak Israel meluncurkan serangan ke instalasi militer dan kota-kota besar Iran. Di pihak Israel, serangan rudal Iran juga telah menyebabkan puluhan korban luka, serta mengakibatkan kepanikan massal di kota-kota seperti Tel Aviv dan Haifa.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Komite Palang Merah Internasional telah meminta akses kemanusiaan ke daerah-daerah terdampak. Namun, akses itu ditolak oleh Iran karena alasan keamanan, sementara Israel belum membuka zona perbatasannya untuk bantuan medis internasional.

Dengan blokade informasi dan terbatasnya media internasional di lapangan, krisis kemanusiaan dikhawatirkan akan menjadi bayangan gelap berikutnya dari konflik yang terus membara.

Menuju Krisis Regional yang Lebih Luas

Kegagalan PBB bukan sekadar soal resolusi yang tertunda atau sidang yang berakhir buntu. Ini adalah kegagalan komunitas internasional untuk mencegah pecahnya krisis yang lebih luas. Analis memperingatkan bahwa jika konflik ini tak segera dihentikan, perang bisa merembet ke Lebanon, Suriah, bahkan Yaman, di mana kelompok-kelompok proksi Iran dan sekutu Israel memiliki basis kuat.

Di sisi lain, negara-negara Teluk seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab mulai menyatakan kekhawatiran bahwa fasilitas minyak mereka bisa menjadi target serangan lanjutan, mengingat pentingnya kawasan tersebut dalam geopolitik energi dunia.

Apakah Dunia Siap untuk Perang Timur Tengah Berikutnya?

Sejarah mencatat bahwa setiap perang besar di Timur Tengah selalu berujung pada dampak global — dari lonjakan harga minyak, krisis pengungsi, hingga radikalisasi. Kini, dunia berada di titik balik yang menegangkan. Tanpa campur tangan serius dan netral dari komunitas internasional, khususnya PBB dan negara-negara besar, konflik antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat akan membawa bencana tidak hanya bagi kawasan, tapi juga untuk stabilitas dunia secara keseluruhan.

Leave A Reply

Your email address will not be published.